Problematika dalam Penerapan Sistem Transplantasi
untuk Indonesia
Transplantasi organ adalah sebuah metode terapi untuk
pasien yang mengalami kegagalan fungsi organ, dimana organ dari seorang donor
yang masih berfungsi dipindahkan kepada resipien yang membutuhkan. Angka
kejadian kegagalan organ diduga semakin tinggi akibat menuanya umur demografi
Indonesia dan penyakit degeneratif sehingga memaksa negara mencari usaha
definitif dalam menanggulanginya. Oleh karena itu, jawaban terbaik dalam
memecahkan masalah tersebut adalah koordinasi transplantasi organ dalam skala
nasional. Dalam mengelola transplantasi organ dengan
tanggung jawab luas ini akan dibutuhkan sebuah badan
sebagai pengendalinya. Sistem ini juga akan nantinya
bertanggungjawab dalam pendataa jumlah kasus, calon donor, maupun pasien sekaligus dalam persiapan dan proses transfer
organ. Lalu, apa yang menjadi permasalahan utama dalam mengaplikasikan sistem
ini? Mari kita urai satu persatu:
Pertama, absennya sistem pendataan dan akomodasi bagi para
pasien yang mengalami kegagalan organ dan pendonor yang ingin menyumbangkan
organnya. Saat ini di Indonesia sangat sulit untuk mengetahui
berapa banyak kasus kegagalan organ, apapun organnya,
apapun sebabnya, pada setiap tahunnya. Sebagai akibatnya, penyebab kegagalan
organ paling banyak di Indonesia tidak dapat diketahui.
Begitu pula dengan berapa banyak warga Indonesia yang berkeinginan untuk
mendonasikan organnya untuk orang-orang yang mereka sayangi. Penulis pun
mengalami kesulitan dalam mengumpulkan data mengenai kegagalan organ, jumlah
keberhasilan prosedur transplantasi, ataupun angka penolakan organ dari
instansi kesehatan Indonesia yang dibutuhkan untuk menjelaskan kepada pembaca
seberapa berat masalah ini, sehingga penulis harus mengambil data dari negara
Eropa Barat dan Amerika Serikat sebagai
referensi dalam menulis artikel ini. Absennya sistem ini juga menciptakan problem bagi
klinisi dalam mengidentifikasi problem teknis dalam selama proses pre-operasi transfer
organ. Identifikasi ini juga dibutuhkan untuk mengenali keadaan resipien pasca
operasi, seperti reaksi penolakan, efek obat
penekan sistem imun pada resipien, efek samping obat, dan perubahan fisik dan
kimiawi dalam tubuh yang dialami oleh resipien. Oleh karena itu, eksistensi
sebuah database untuk pasien dan
donatur transplantasi organ mutlak dibutuhkan.
Masalah
kedua adalah ekonomi, dimana Indonesia masih termasuk
negara dunia ketiga dengan tingkat kemiskinan cukup tinggi, dengan 60%
penduduknya berpenghasilan di bawah $2 per hari (BPS, 2010). Walaupun pemerintah
menyatakan bahwa daya beli masyarakat terus
meningkat tiap tahunnya, hal ini sangat mungkin terjadi karena angka inflasi
yang cukup tinggi, yaitu sekitar 7% di tahun 2010 yang terlaporkan oleh BPS. Di
negara Asia Selatan dan Afrika, keterbutuhan akan uang menjadi alasan utama dan akibat dari praktek perdagangan
organ. Dari beberapa sumber, praktek perdagangan organ ilegal ini juga mulai
merambah Indonesia beberapa tahun terakhir ini. Praktek ini tentu saja selain
tidak etis dan tidak manusiawi, juga rawan kriminalitas berupa penculikan dan penipuan terhadap korbannya. Kejahatan ini dapat
ditekan melalui pembentukan sebuah organisasi negara yang menjembatani transfer
organ antara donor dan resipiennya, dengan menekankan sikap altruistik terhadap
sesama manusia tanpa memandang suku, ras, dan agama.
Kesalah pahaman dalam
menterjemahkan hubungan agama dan donasi organ menjadi masalah ketiga di Indonesia. Dalam artikel ini, secara subjektif penulis mengkorelasikan kepada agama Islam, karena agama mayoritas Indonesia
adalah Islam. Satu pertanyaan yang paling sering dipertanyakan dalam hal ini
berkaitan dengan hukum transplantasi organ dalam Islam. Ada dua pendapat yang kontradiktif dalam menjawab pertanyaan
tersebut: Pertama, alasan tidak
diperbolehkannya transplantasi organ adalah karena sucinya
tubuh seorang manusia dan tubuh ini adalah sebuah kepercayaan yang dititipkan
Allah SWT kepada manusia, yang suatu saat nanti akan dimintakan
pertanggungjawabannya (QS 4:29 dan QS 2:295). Sedangkan alasan yang mendukung
transplantasi organ adalah dengan pertimbangan
kebaikan dan kesejahteraan bagi sesama muslim dan altruisme bagi sesama
manusia (QS 2:5 dan QS 5:35). Pertimbangan ini didukung oleh hasil pertemuan
yang dilakukan oleh Council of the Islamic Fiqh Academy of the Organization
Islamic Conference di Jeddah pada tahun 1988 yang menghasilkan sebuah resolusi
bahwa transplantasi organ diperbolehkan, dengan syarat, kebaikannya melebihi keburukannya dan dibutuhkan untuk menghilangkan sebab dari penyakit
penderitanya, baik mental maupun fisik. Kemudian, persyaratan berikutnya adalah keselamatan donor tidak terganggu dan donor memberikan
organnya secara sukarela kepada resipiennya. Terlebih lagi jika transplantasi ini harus merupakan usaha terakhir dalam menyelamatkan
nyawa sang pasien dan perkiraan kesuksesan prosedur ini cukup tinggi. Saat ini
tindakan pendonasian organ termasuk dalam tindakan resiko rendah dengan
keamanan cukup tinggi dan tingkat mortalitas pasca operasi hanya berkisar 0.03%
di seluruh dunia (Kasiske et al, 1996).
Tiga masalah di atas adalah masalah-masalah krusial yang
menentukan apakah sistem transplantasi dapat diterapkan di Indonesia. Tentu
saja di luar ketiga hal tersebut masih ada masalah besar lain yang dapat
menghambat hadirnya sistem transplantasi untuk Indonesia, seperti: ketakutan
masyarakat Indonesia akan langkah-langkah medis, contohnya untuk tindakan
operasi dan obat-obatannya; keterikatan sebagian masyarakat terhadap terapi
non-medis yang tidak berizin dan tidak ilmiah metodanya, yang kemungkinan besar
justru memperburuk penyakit pasien; dan ketidak pedulian pemerintah atas semakin
tingginya masalah kesehatan Indonesia.
Sebagai
contoh yang (hampir) ideal, di Belanda, oleh karena tingginya biaya transplantasi organ yang
kemungkinan besar memberatkan pasien dan donornya, seluruh biaya dari
transplantasi organ beserta obat dan biaya transfer organ ditanggung penuh oleh
sistem jaminan sosial, sebuah sistem yang juga patut diperjuangkan
keberadaannya untuk kesejahteraan warga negara Indonesia demi tercapainya sebuah
keadilan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia, seperti apa yang pendiri
bangsa kita cita-citakan.
Solusi utama dalam
memulai
sistem ini dapat dicapai melalui usaha
sinergi pemerintah
untuk segera menyusun regulasi dan peraturan penerapan sistem transplantasi bersama dengan departemen kesehatan melakukan edukasi dan penerangan ke masyarakat umum
akan pentingnya donasi organ. Pilot project-nya dapat dimulai di
beberapa RS kelas A yang siap dalam perangkat infrastruktur dan suprastruktur. Fungsi evaluasi dan
koreksi akan dilakukan oleh pemerintah melalui
departemen kesehatan dan badan independen. Jika sistem ini dapat dijalankan
dengan baik, terlebih lagi apabila ditunjang dengan
kentalnya budaya saling tolong menolong antara sesama manusia di Indonesia, tingginya angka mortalitas akibat kegagalan organ akan dapat ditekan seminimum mungkin.
Salam,
Muhammad
Iqbal Gentur Bismono
Komentar
Posting Komentar