Cuci Darah pada Kegagalan Fungsi Ginjal

Cuci darah atau dialisis adalah sebuah metode terapi bagi pasien yang mengalami kegagalan ginjal akut dan kronik. Walaupun tak tercatat sejak kapan metode terapi ini diperkenalkan di Indonesia, cuci darah sudah sejak lama menjadi terapi utama kegagalan ginjal. Cuci darah secara umum berfungsi sebagai substitusi fungsi dari ginjal normal, yaitu membuang zat sisa, kelebihan garam dan air dari penumpukan di dalam tubuh, kemudian menjaga kadar zat kimia yang dibutuhkan tubuh seperti potassium, sodium, dan bikarbonat, dan terakhir, untuk mengontrol tekanan darah.

Berdasarkan panduan dari European Best Practice Guidelines for Haemodialysis, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pasien untuk segera memulai cuci darah: Pada saat GFR pasien <15ml/menit (glomerular filtration rate atau laju filtrasi glomerulus) dan terdapat salah satu gejala berikut: uremia (terdeteksinya ureum di dalam darah), ketidakmampuan untuk mengontrol hidrasi tubuh dan tekanan darah, penurunan keadaan nutrisi pasien yang progresif. Pada pasien dengan keadaan beresiko tinggi seperti diabetes, cuci darah dapat memberikan hasil lebih baik jika dilakukan secepatnya [1].




Penyebab kegagalan fungsi ginjal dapat dibagi menjadi tiga: Pre renal, renal (ginjal), dan post renal. Penyebab cedera pre renal terkait dengan aliran darah yang menuju ginjal: pasien dengan gangguan jantung; penyakit yang menyebabkan penurunan volume darah menuju ginjal, seperti stenosis (penyempitan) arteri ginjal; dan penyakit yang menyebabkan penurunan tekanan darah yang menuju ginjal, seperti shock. Sedangkan penyakit yang berasal dari ginjal itu sendiri dapat berupa cystic kidney (kista pada ginjal), glomerulonephritis, dan acute tubular necrosis (kematian sel tubulus secara akut). Gangguan post renal diasosiasikan dengan obstruksi (penyumbatan) pada saluran kemih yang menyebabkan arus balik menuju ginjal sehingga ginjal harus menampung urine dalam jumlah berlebih. Penyebab obstruksi ini dapat bersumber dari hiperplasia prostat, batu ginjal, gangguan kandung kemih. Seluruh kausa di atas menyebabkan pasien menderita akibat kelebihan zat toksik dan air dari dalam tubuhnya, juga kekurangan hormon yang diproduksi oleh ginjal [2]



Ada dua cara yang lazim digunakan untuk melakukan cuci darah, yaitu hemodialisis dan peritoneal dialisis. Biasanya pasien yang memiliki prognosis cukup baik diterapi dengan peritoneal dialisis, sedangkan pada pasien dengan prognosis buruk menggunakan hemodialisis. Pada umumnya, cuci darah dilakukan menggunakan mesin dialisis. Mesin dialisis bertugas untuk menarik darah keluar dari dalam tubuh dan memasukkannya kembali ke dalam tubuh setelah melalui dialyzer, kemudian kembali lagi ke tubuh, pada saat bersamaan cairan dialysate mengalir dari kontainer penyimpanan menuju dialyzer dan dialysate kotor akan dialirkan menuju kontainer pembuangan. Dialyzer bekerja dengan prinsip osmosis dimana zat sisa seperti urea, potassium, dan fosfat dari dalam darah dengan konsentrasi lebih tinggi akan berdifusi melewati membran semi permeabel menuju cairan dialysate dengan konsentrasi lebih rendah. Dalam proses ini juga kelebihan air dan garam akan ikut terbuang bersama zat sisa. Total waktu yang dibutuhkan untuk dialisis selama 3 hingga 5 jam. Hemodialisis memiliki efikasi tinggi sehingga dapat memudahkan pasien untuk tidak bepergian ke rumah sakit setiap harinya tetapi keadaan ini meningkatkan probabilitas infeksi nosokomial rumah sakit. Walaupun harga mesin dan penunjangnya yang cukup mahal, peralatan tersebut memiliki umur penggunaan yang panjang dan dapat melayani banyak pasien, sehingga biaya yang dikeluarkan oleh pasien relatif cukup rendah. Tetapi tentu saja, walaupun biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 600.000 per dialisis, total biaya yang dikeluarkan oleh pasien akan terus meningkat karena proses hemodialisis harus dilakukan setidaknya 3-4 kali seminggu dan harus dilakukan bertahun-tahun jika tidak melakukan transplantasi.




Peritoneal dialisis memiliki beberapa keunggulan yaitu mudah dibawa dan tidak merepotkan pasien, walaupun tidak seefektif hemodialisis dalam mengurangi tumpukan zat sisa dan air dari dalam darah. Pada peritoneal dialisis, cairan dialysate dialirkan ke dalam peritoneum dan dengan bantuan dinding peritoneum sebagai membran semipermeabel, zat sisa dan kelebihan air dari dalam darah akan tertarik menuju cairan dialysate. Setelah kurang lebih 4-5 jam, cairan dialysate dialirkan keluar untuk dibuang. Proses ini tidak seefektif mesin hemodialisis, tetapi kelemahan tersebut dapat dikompensasi dengan frekuensi cuci darah yang  lebih sering, yaitu 4-5x dalam sehari [3]. Terlebih, karena proses ini mudah dan mobile, maka pasien dapat melakukan dialisis bersamaan dengan pekerjaannya.

Di negara Eropa Barat dan Amerika Serikat, cuci darah dilakukan hanya sebagai “jembatan” antara sejak pasien dinyatakan gagal ginjal sampai melakukan transplantasi ginjal, kecuali terdapat kontraindikasinya. Memang, cuci darah dapat membantu meringankan penderitaan dan mangijinkan tubuh pasien berjalan dengan normal, tetapi dengan syarat pasien tersebut melakukannya dengan rutin dan menjauhi pantangan yang diberikan oleh dokter. Tetapi, selama cuci darah, pasien harus melakukan datang 2-3x seminggu di rumah sakit dalam proses sekitar 4-5 jam. Selama itu pasien harus dalam keadaan stabil dan tidak melakukan gerakan besar. Cuci darah juga sangat bergantung dengan penyediaan mesin dialisa di rumah sakit dan kemampuan pasien menempuh perjalanan ke rumah sakit tersebut di tengah rutinitas hidup dan pekerjaan. Belum lagi biaya menggunakan mesin cuci darah, konsultasi dokter, dan obat-obatan akan terus meningkat seiring waktu.

Sebagai terapi tahap akhir pada kegagalan organ, cuci darah memiliki lebih banyak kekurangan daripada transplantasi. Salah satu kekurangan utama cuci darah adalah peningkatan resiko mortalitas pasien yang disebabkan oleh peningkatan resiko hipertensi, dislipidemia, dan diabetes, terutama bagi mereka yang menjalani cuci darah selama lebih dari tiga tahun. Pasien yang melakukan transplantasi sesegera mungkin (0-6 bulan pasca diagnosis) menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam ekspektasi survival rates hingga 68% daripada pasien yang tetap melakukan cuci darah dalam observasi tiga sampai empat tahun (36-48 bulan) [4]. Tetapi, efek buruk dari cuci darah dapat dihambat dan bahkan diturunkan melalui prosedur transplantasi organ [5]. Kemudian, pasien yang menjalani cuci darah dengan durasi yang lebih lama, mereka akan mengalami kekurangan nutrisi secara sistemik dan intoleransi terhadap obat-obatan penekan sistem imun daripada pasien yang melakukan dialisis dengan durasi yang lebih singkat [6]. Penelitian oleh Xue et al menyatakan, setelah lima tahun observasi, angka kematian pasien yang melakukan transplantasi ginjal lebih rendah 56% daripada pasien yang menjalani cuci darah dalam jangka waktu yang sama [7]. Beberapa studi di atas mengindikasikan bahwa semakin lama seseorang menjalani cuci darah, semakin rentan ia terhadap gangguan kesehatan lain.

Sebagai kesimpulan, cuci darah bukanlah sebuah jawaban utama dari kegagalan ginjal karena prosedur cuci darah memberikan efek samping jangka panjang pada sistem kardiovaskuler pasien, sehingga solusi utama dari kegagalan organ tetap terletak pada transplantasi organ.

References

1.                     Haemodialysis, E.B.P.G.f., When to Start Dialysis. Nephrology Dialysis Transplantation, 2002.
2.                     Liu, K.D., Chertow,  G.M. , Harrison's Principles of Internal Medicine: Acute Renal Failure. 2008.
3.                     Kallenbach, J., Review of Haemodialysis for Nurses and Dialysis Personnel. Elsevier Mosby, 2005. 7th ed.
4.                     Meier-Kriesche, H.U., et al., Kidneys from deceased donors: maximizing the value of a scarce resource. Am J Transplant, 2005. 5(7): p. 1725-30.
5.                     Meier-Kriesche, H.U., et al., Kidney transplantation halts cardiovascular disease progression in patients with end-stage renal disease. Am J Transplant, 2004. 4(10): p. 1662-8.
6.                     Sarnak, M.J. and B.L. Jaber, Pulmonary infectious mortality among patients with end-stage renal disease. Chest, 2001. 120(6): p. 1883-7.
7.                     Xue, J.L., et al., Forecast of the number of patients with end-stage renal disease in the United States to the year 2010. J Am Soc Nephrol, 2001. 12(12): p. 2753-8.

Komentar

  1. bagus banget bal..inspiratif,,pgn nulis blog jg jadiny..truskan bal,,semoga impian tentang sistem transplantasi organ di indonesia terwujud, dan kmu jadi pioneer nya..top..!!

    BalasHapus
  2. Makasih pil untuk komentarnya :) Semoga doamu didengar dan bisa terjadi secepatnya..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Indonesian Renal Registry dan United States Data Renal System